Home / Agama / Artikel

Sabtu, 18 Februari 2023 - 07:00 WIB

Tutup Kuping Saat Dengar Musik = Radikalisme?

Tutup Kuping Saat Dengar Musik = Radikalisme?

Semoga belum terlambat, hal ini terkait video santri-santri menutup kuping di tempat vaksinasi pada saat sedang mendengarkan musik. Terlepas dari ucapan sang perekam, saya ingin berbagi perspektif dari sisi saya, supaya teman-teman tidak terbawa narasi provokasi.

Hal ini kebetulan saya ketahui dari Guru saya yang mulia, yang dulu juga pernah mengalami menjadi santri-santri seperti di video ini. Semoga yang saya bagi bisa bermanfaat dan melengkapi penjelasan orang-orang di luar sana.

Banyak yang mengatakan bahwa santri-santri ini adalah penghapal AlQuran, sehingga mereka menutup kuping saat mendengarkan musik.

Penjelasan tersebut ternyata tidak memuaskan. Ada yang bertanya lagi, “Masa iya sampai segitunya. Lebay! Saya bisa kok menghapal UU bahkan sambil mendengarkan musik, atau hal yang lainnya! Cari-cari alasan saja. Radikal ya radikal!”

Jadi ini adalah santri-santri yg bukan hanya calon penghafal AlQuran biasa.

photo: serambinews.com

Tapi juga penghafal yang disebut qiroat tujuh. Mereka harus menghafalkan qiroat dan nada-nada quran yang terkenal ada 7 nada qiroat (aslinya ada 20 nada qiroat, tapi biasanya yang wajib 7 qiroat).

Mereka setiap hari harus mendengarkan qiroat dan nadanya, harus menghafal dan mempelajari.

Ketika otak mereka terdistraksi dengan musik selain dari itu, hafalan qiroat mereka akan berantakan dan akan sangat susah untuk menghapalnya lagi.

Jadi, mereka menutup kuping mereka bukan soal urusan musiknya. Tapi kalau yang didengar mereka selain daripada qiroat tujuh, bisa berdampak buyar hafalan mereka.

Seorang teman bercerita ke saya, anak (alm). Elfas. yang ketiga katanya tidak boleh mendengar musik jenis lain selain musik klasik sampe usia SMP. Tujuannya agar kepekaan telinganya terhadap nada tidak rusak oleh misalnya musik rock dan lain-lain.

Alat musik yang boleh didengar juga cuma piano dan orkestra (biola dll), yang memang berguna utk melatih dan mempertahankan kepekaan nada. Nanti kalo sudah cukup dan dirasa mampu, anak-anak ini boleh dengar jenis musik yg lain.

Untuk para penghafal Quran ini, bayangkan saja, ada 114 surah dalam AlQuran dan mereka harus menghapal sekaligus mempelajari 7 qiroatnya.

Kemampuan menghafal masing-masing manusia pasti berbeda. Santri, yang masih belajar, berjuang setiap hari untuk menamatkan target hafalan mereka. Distraksi akan membuat merek sulit mencapai target.

Dalam hal ini kapasitas tiap orang berbeda.

‘Kenapa masih sibuk menghafal padahal zaman sudah serba digital?’

Tujuan orang berbeda-beda. Tujuan mereka bukan hanya hafalan. Mereka baru di tahap awal menuju jalan menjadi ulama yg baik. Bukankah kita semua menginginkan ulama-ulama yang baik? Bukan hanya yang mengaku-ngaku ulama?

Hafalan Quran dan juga hadits adalah bahan dasar untuk menalar hukum Islam. Ada banyak ilmu lain yang harus dikuasai agar bisa menjadi ulama yang baik. Ada ilmu mantiq atau logika, bahasa serta ilmu tafsir.

Jadi seorang penghafal Quran dengan qiroat bahkan baru berada di langkah awal dari sebuah perjalanan ilmu yang panjang.

Bisa jadi santri-santri ini seharusnya masih ada di pondok untuk menghafalkan. Namun mereka khusus keluar pondok untuk vaksinasi demi ikhtiar mengakhiri pandemi. Jadi kemungkinan besar, bagi santri-santri ini mendengarkan musik merupakan tantangan tersendiri.

Bicara toleransi, bukankah yang mereka lakukan adalah toleransi? Mereka tidak menyuruh penyelenggara untuk mematikan musik, karena mungkin musik dibutuhkan untuk orang lain yang sedang menunggu. Mereka menutup kuping tidak menyakiti kita. Hal ini serupa lelaki yang memilih agar menundukkan pandangan alih-alih sibuk menyuruh perempuan membungkus tubuhnya.

Lalu kenapa kita harus berprasangka buruk?

Berikut saya sertakan ulama besar yang mendendangkan surah AlFatihah dengan 7 qiroat berbeda, agar menjadi bayangan bagi teman-teman semua.

Saya sendiri dari kemarin masih di qiroat 1 dan belum selesai-selesai.

(itu saja dengan metode mendengarkan via headset nonstop dan mengulang-mengulang sendiri. Bisa anda bayangkan, adik-adik ini tidak boleh pegang handphone, MP3, apalagi headset di pondoknya. Bayangkan tantangan yang mereka hadapi)

Semoga kita semua tetap bisa berhusnudzon dan tidak mudah terpancing hal-hal yang memecah belah bangsa.

Radikalisme memang patut kita waspadai, namun waspada bukan berarti Suudzon. Membenci sesuatu yang tidak kita pahami itu bukan kita. Kita lebih baik dari itu.

Semoga bermanfaat.

diambil dari: thread@CeritaGuruadeirra

Author Profile

Akhmadi Didi

Share :

Baca Juga

Agama

Polemik Dana Haji: “Biaya Haji Naik”

Agama

Suluk Ramadhan

Artikel

Pencegahan dan Dampak Gangguan Mental? Yuk Simak!

Agama

Hubungan Rasulullah dengan Non Muslim

Artikel

Yuk Perbanyak Shalawat dan Ketahui Keistimewaannya!

Agama

Maulid Nabi: Bid’ah, Benarkah ! (2)

Artikel

Quirkyalone? Apakah Kamu Termasuk!

Agama

Selamat Hari “Pesantren” Pendidikan Nasional
Exit mobile version