Home / Artikel / Berita

Selasa, 21 Oktober 2025 - 14:44 WIB

“Mengkritik” atau “Menghina” Pesantren?

Beberapa catatan kecil tentang kasus tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang membuat geram warga nahdliyyin hari-hari ini:

1. Pertama-tama harus dikatakan dengan tegas, tayangan Trans7 itu jelas dibuat dengan niat buruk, yaitu “ihanah” atau menghina. Tujuan tayangan ini jelas bukan kritik konstruktif terhadap tradisi pesantren, melainkan kesombongan dan provokasi.

Narasi, intonasi pengisi suara, dan “framing” yang dibuat untuk menggambarkan tradisi pesantren disuguhkan begitu rupa sehingga hasilnya ialah sebuah tayangan yang diniatkan untuk menyudutkan pesantren dan dunia santri. Tak ada sama sekali niat memahami, walau memahami tidak mesti menyetujui.

Ini plek-ketiplek persis dengan sikap orientalis lama yang melihat dunia Islam dari ketinggian dan arogansi “kulit putih”. Dunia santri dinilai secara arogan dengan kaca-mata “penghakiman” semena-mena, tanpa mau memahami secara lebih dalam.

Menjengkelkan bahwa korporasi kaya dan besar seperti Trans7 melakukan tindakan seperti ini kepada komunitas santri yang telah berjasa besar mendidik jutaan santri dan bangsa Indonesia selama ratusan tahun tanpa pamrih apa-apa.

2. Juga menjengkelkan bahwa perusahaan kaya raya seperti grup Trans7 mencibir para kiai karena, antara lain, menerima amplop dari para tamu dan menuduhnya hendak memperkaya diri sendiri.

Apalagi yang dijadikan contoh ilustrasi adalah kiai terhormat dari Lirboyo: Kiai Anwar Manshur. Siapapun yang pernah sowan ke “ndalem” Kiai War (demikian beliau biasa dipanggil), akan tahu betapa sederhanya kediaman beliau. Mungkin toilet gedung Trans7 di kawasan Mampang Prapatan jauh lebih mewah daripada ruang tamu Kiai War.

3. Tidak ada niat baik sama sekali di balik tayangan yang dibuat Trans7 itu. Itu bukan tayangan yang dimaksudkan untuk mengajak dialog kalangan santri. Jika niatnya adalah kritik untuk memperbaiki keadaan, sudah banyak kalangan dalam maupun luar pesantren yang melakukan kritik.

Terhadap kritik-kritik yang niatnya untuk perbaikan, kalangan NU dan santri sama sekali tidak keberatan. Kalangan internal NU sering melakukan kritik terhadap praktek-praktek di dalam dirinya.

Saya masih ingat, Kiai Masdar F. Mas’udi saat masih muda dulu, pernah mengorganisir serial diskusi dengan restu Gus Dur, yang tujuannya untuk melakukan rekontekstualisasi (yang kerapkali melibatkan kritik atas) tradisi pemikiran dan sejumlah kebiasaan di dalam lingkungan pesantren.

Forum yang digawangi Kiai Masdar itu berlangsung di gedung PBNU pada tahun 80an. Pada tahun 80an pula, saat masih umur 18 dan masih menjadi santri di Kajen, Pati, Jawa Tengah, saya pernah menulis artikel yang kemudian dimuat di majalah Pesan yang diterbitkan oleh LP3ES di Jakarta.

Dalam artikel itu saya mengkritik apa yang saya sebut ketika itu sebagai praktek “neo-feodalisme” di pesantren. Kiai Rijal Mumazziq Z dari Jember sering menulis catatan di Facebook yang isinya mengkritik beberapa praktek budaya di dunia pesantren. Banyak contoh lain.

4. Tetapi kritik memiliki “rule of game”-nya. Di sini saya mau bicara tentang dua pihak dalam setiap tindakan mengamati. Tindakan mengamati praktek suatu komunitas bisa dilakukan oleh “pihak dalam” (insider) atau “pihak luar” (outsider). Jika kebetulan anda berada di luar, anda bisa saja mengkritik suatu praktek budaya tertentu, tetapi harus dengan sikap hati-hati dan bijak. Jika tidak, kritik itu akan menjadi boomerang yang berbalik melukai diri sendiri. Kritik yang otoritatif biasanya kritik yang datang dari pihak dalam.

Saya, misalnya, memilih untuk tidak melakukan kritik kepada pemahaman yang ada dalam agama lain, apalagi jika kritik itu saya lakukan dengan sembrono, tanpa melalui riset mendalam, dan mendengarkan penjelasan pihak “dalam” di dalam agama bersangkutan. Kenapa demikian? Sebab saya adalah orang luar terhadap agama lain yang sedang menjadi sasaran kritik saya itu.

Begitu juga, saya tidak akan melakukan kritik kepada organisasi Muhammadiyah sejauh menyangkut praktek-praktek internal ormas itu. Yang berhak melakukan kritik semacam itu, menurut saya, adalah kawan-kawan Muhammadiyah sendiri. Tetapi saya tak segan mengkritik pemikiran teman Muhammadiyah sejauh menyangkut perkara publik.

Kesalahan fatal tayangan Trans7 persis ada di sini: ada orang luar yang ujug-ujug datang dan menghakimi dunia santri tanpa melakukan diskusi dengan kalangan orang dalam. Apalagi kritik itu dikemas dengan nada yang jelas-jelas untuk menghina dan memprovokasi.

5. Banyak yang keberatan terhadap kemarahan warga NU terhadap tayangan Trans7 itu. Mestinya, kata mereka, tayangan itu ditanggapi dengan lapang dada sebagai bentuk kritik. Pandangan seperti ini menurut saya keliru. Apa yang anda harapkan dari tayangan yang memang niatnya untuk menghina? Tayangan Trans7 itu sejak awal tidak diniatkan sebagai ajakan untuk diskusi dan dialog. Bahkan, tayangan itu tampaknya diniatkan untuk menghasut.

Kenapa warga nahdliyyin tidak mengikuti, sebut saja, “jalan Kristiani”: yaitu, jika ditempeleng pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu, alias jalan “pasifis” atau damai? Kalangan NU menempuh banyak jalan dalam menanggapi sikap pihak luar yang tidak bersahabat. Sejujurnya, lebih sering kalangan NU menanggapi kritik-kritik pihak luar dengan jalan diskusi dan menulis tanggapan balik. Ini terjadi, misalnya, dalam kasus kritik kalangan salafi terhadap praktek keagamaan warga nahdliyyin. Banyak kiai yang menulis kritik atas kritik salafi itu. Kiai Ma’ruf Khozin adalah contoh bagus seorang kiai yang menanggapi kritik-kritik atas tradisi dan amaliah NU melalui diskusi.

Tetapi pendekatan damai kadang tidak cukup. Dalam keadaan tertentu, dibutuhkan juga tindakan lebih, misalnya protes dan demonstrasi seperti dalam kasus Trans7 ini. Protes adalah jalan yang absah dalam masyarakat demokratis, selama tidak merusak dan vandalistik. Karena niat tayangan Trans7 itu memang bukan ajakan untuk dialog, jangan salahkan pihak nahdliyyin yang menanggapinya dengan jalan protes, bukan diskusi.

6. Tampak sekali kalangan salafi/wahabi seperti “kompak” membela tayangan Trans7 ini. Mereka membangun narasi “puritanistik”: memberantas kesesatan. Pesan yang mau dikirim oleh kalangan salafi ini seolah-olah demikian: di dalam pesantren NU banyak praktek-praktek “sesat” yang berlawanan dengan agama, seperi tata-cara menghormati kiai dan ulama. Tayangan Trans7 itu adalah dakwah untuk memerangi kesesatan dalam tubuh NU.

Jika demikian pesan kalangan salafi kepada warga nahdliyyin, kita akan hadapi dengan tanpa sikap apologetik; dengan gagah dan tanpa rasa takut. Kita bisa membuktikan bahwa corak pemahaman Islam yang sudah terbukti selama berabad-abad membawa maslahat dan kedamaian adalah corak keislaman ahlissunnah model NU. Pemahaman salafi telah membawa kehancuran di mana-mana.

7. Terakhir, dengan mengatakan ini semua, tidak berarti kalangan nahdliyyin harus menutup diri dari kritik, baik kritik dari dalam atau luar. Tidak semua tradisi di kalangan santri positif; ada tradisi-tradisi yang juga problematis. Saya sendiri kurang setuju santri harus berjalan “melantai” di hadapan kiai/bunyai. Saat jadi santri dulu di tahun 80an hingga 90an, saya tidak pernah melihat tradisi seperti ini.

Mayoritas pesantren pun tidak mempraktekkan tradisi ini, dari dulu sampai sekarang. Zaman saya nyantri dulu pun, panggilan “gus” atau “ning” untuk putra/putri kiai tidak dikenal di kawasan pesanteren Pantura (Jawa Tengah). Bahkan kiai terhormat seperti Kiai Ali Maksum (Krapyak, Yogyakarta) dan Kiai Sahal Mahfudz (Kajen, Pati, Jateng) dulu dipanggil “pak”, bukan “kiai”. Setelah sepuh, baru dipanggil kiai.

Meski demikian, keadaan yang dipicu oleh tayangan Trans7 ini bisa juga dipandang sebagai “blessing in disguise”: ini adalah momen bagi kalangan nahdliyyin: (1) untuk melakukan oto-kritik dalam hal-hal yang memang seharusnya dikritik; (2) momen polemik ini bisa dimanfaatkan kalangan pesantren untuk memberikan edukasi publik tentang dunia pesantren.

Terus terang, banyak hal di dalam pesantren yang tampak “tak masuk akal” (non-sensical) bagi kalangan luar pesantren. Tugas kita sebagai warga pesantren adalah memberikan penjelasan pihak luar tentang hal-hal seperti itu. Pihak luar tidak harus setuju, atau bisa setuju separohnya saja. Tidak apa-apa. Yang penting ada penjelasan.

Tetapi, sekali lagi, menghina tradisi pihak lain dengan memakai standar “moral” anda sendiri, jelas tidak bisa dibenarkan.

Sekian.

 

Penulis: Ulil Abshar Abdalla

Author Profile

Naura Azzahra

Share :

Baca Juga

Artikel

Pesantrenku “Daar Al Zahra”

Artikel

Insecure? Yuk Cari Tau Penyebabnya!

Agama

Maulid Nabi: Bid’ah, Benarkah ! (Part 3)

Artikel

Kata-kata Penyemangat Untukmu

Artikel

Mau Diet Sehat? Gimana sih Caranya???

Berita

Kapan Ppkm Akan Segera Selesai? Yukk, Simakk!

Artikel

Kenali Diri Sebelum Pacaran

Artikel

Bullying: Pengertian, Penyebab, Macam dan Dampaknya
Exit mobile version