Suara-Suara yang Terbungkam: Tragedi Kemanusiaan di Palestina
Suara-suara yang Terbungkam. Hind Rajab, gadis kecil berusia 6 tahun, meringkuk ketakutan di dalam mobil keluarganya. Ia menelepon bantuan darurat (Bulan Sabit Merah) dengan suara bergetar “ambil aku.. tolong.. aku takut”,
memohon untuk di selamatkan saat keluarganya tewas di sekitarnya. Beberapa jam kemudian, tubuh mungilnya di temukan bersimbah darah,
di tembaki lebih dari 300 peluru. Tangan kecilnya masih menggenggam ponsel, harapan terakhirnya yang tak terjawab. Apa yang sudah di lakukan seorang gadis kecil sehingga pantas menerima kekejaman seperti ini?
Dr. Hussam Abu Safiya, dokter anak yang mengabdikan hidupnya untuk menyembuhkan anak-anak Palestina, di sekap dan disiksa.
Tangan yang biasa ia gunakan untuk menyembuhkan kini di belenggu, tubuhnya memar oleh penganiayaan. Seluruh hidupnya di dedikasikan untuk menyelamatkan nyawa dan beliau dengan berani menolak meninggalkan pasiennya,
meskipun mendapatkan perintah evakuasi dari militer Israel. sehingga putranya pun di bunuh sebagai konsekuansi dari keputusannya, walaupun begitu beliau tetap sabat dan tabah.
Beliau adalah dokter yang di perlakukan seperti penjahat. Seorang penyembuh di bungkam dengan kekerasan dan ketakutan.
Suara-suara yang Terbungkam: Peristiwa Palestina
Cerita-cerita ini hanyalah sebagian kecil dari potret besar kekejaman yang terjadi. Ambulans, kendaraan yang seharusnya menjadi simbol pertolongan dan kemanusiaan, dituduh sebagai mata-mata dan diserang tanpa ampun.
Para perawat tewas saat berusaha menyelamatkan nyawa. Kamp-kamp pengungsian yang seharusnya menjadi tempat perlindungan di bom hingga rata dengan tanah.
Persediaan air yang merupakan hak dasar manusia, di blokade, membuat ribuan orang terancam dehidrasi dan penyakit.
Delapan miliar manusia hidup di muka bumi ini. Delapan miliar jiwa dengan hati nurani dan akal sehat. Milyaran di antaranya mengaku beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mengajarkan kasih sayang dan keadilan.
Namun di manakah mereka semua saat darah anak-anak mengalir di tanah Palestina? Mengapa keheningan begitu memekakkan telinga?
Apa yang begitu menakutkan hingga miliaran manusia ini membisu, seakan-akan mereka sedang berhadapan dengan musuh yang tak terhitung jumlahnya?
Padahal berapa banyak sebenarnya “mereka” yang melakukan kekejaman ini? Beberapa ribu? Puluhan ribu? Segelintir elit yang memegang kendali?
Lalu apa yang membuat mereka begitu berkuasa hingga bisa membungkam suara milyaran manusia? Uang? Senjata? Politik? keberanian mereka begitu besar untuk membungkam kebenaran.
Suara-suara yang Terbungkam: Dimana Rasa Kemanusiaanmu?
Untuk memutarbalikkan fakta, untuk membunuh anak-anak yang melemparkan batu sebab marah karena rumah meraka di hancurkan dan menembak dengan menyebut itu sebagai “pertahanan diri”. Mereka berbohong di depan mata dunia dan dunia memilih untuk percaya.
Dan kalian, wahai bangsa Arab dan para pemegang kekuasaan yang mengklaim solidaritas dalam kata-kata kosong! Sungguh kalian mampu untuk berperan dalam kemerdekaan saudara-saudaramu.
Tetapi kalian memilih untuk berdiam diri, bersembunyi di balik kepentingan politik dan ekonomi. Kalian duduk di singgasana emas sementara darah saudara-saudaramu menghiasi tanah Palestina!
SOMBONG SEKALI KALIAN, seakan-akan bisa hidup abadi, padahal usia dirimu pun engkau tidak tahu! Tak sedetikpun kalian mampu menambahkannya!
Kekayaan dan kekuasaan yang kalian genggam erat akan menjadi debu yang sia-sia ketika jasad tak bernyawa, ketika Sang Pencipta meminta pertanggungjawaban atas sikap diam kalian!
Setiap malam, ibu-ibu di Palestina menidurkan anak-anak mereka dengan nyanyian pedih, bukan dongeng pengantar tidur. Mereka tidak bisa menjanjikan “besok akan lebih baik” karena besok mungkin tidak ada bagi mereka.
Setiap pagi, ayah-ayah bangun dengan beban di pundak, bagaimana memberi makan keluarga hari ini? Di mana menemukan air bersih? Bagaimana melindungi keluarga dari bom berikutnya?
Anak-anak Palestina mengenal suara bom sebelum mereka mengenal mainan. Mereka belajar berlari mencari perlindungan bukan belajar berlari mengejar bola.
Sementara itu, kita di sini, dengan nyaman mengeluarkan air mata virtual, merasakan kesedihan sesaat, lalu melanjutkan hidup dalam kenyamanan kita.
Kita merasa sudah “peduli” dengan membagikan berita di media sosial, seakan-akan tombol “bagikan” adalah pengganti tindakan nyata. DIMANA RASA KEMANUSIAAN KITA? MANA NURANI KITA? MANA KEBERANIAN KITA?
Suara-suara yang Terbungkam: Palestina
Seberapa parah lagi penderitaan yang harus mereka alami sebelum kita benar-benar peduli? Sementara kita duduk nyaman membaca artikel ini, anak-anak Palestina tidur di iringi suara bom dan tangisan.
Saat kita mengeluhkan masalah sehari-hari, mereka berjuang untuk mendapatkan air bersih dan makanan. Masalah-masalah kita yang terasa besar, lalu lintas macet, tagihan listrik naik, deadline pekerjaan, terlihat begitu kecil di bandingkan dengan perjuangan mereka untuk sekedar bertahan hidup.
Di neraka bagian mana kita berada ketika membiarkan ketidakadilan ini berlanjut? Ketika kita menyaksikan penderitaan mereka melalui layar ponsel kita, merasa terenyuh sejenak, lalu melanjutkan hidup kita yang nyaman tanpa melakukan apa-apa?
Dosa kelalaian dan ketidakpedulian mungkin sama beratnya dengan dosa melakukan kejahatan itu sendiri.
Saatnya kita bertindak lebih dari sekadar merasa prihatin. Kepedulian tanpa tindakan adalah kemunafikan. Kita harus berhenti menjadi penonton pasif dalam tragedi kemanusiaan ini.
Bantu melalui donasi untuk bantuan kemanusiaan yang kredibel. Suarakan kepedulian kepada para pembuat kebijakan. Edukasi diri dan orang-orang di sekitar tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Boikot produk-produk yang mendukung penindasan. Dukung jurnalisme independen yang melaporkan kebenaran.
Tidak ada yang meminta kita untuk menyelesaikan konflik ini sendirian, tetapi setiap tindakan kecil yang kita lakukan mewakili pilihan moral kita, pilihan untuk tidak berdiam diri di hadapan ketidakadilan.
Mari kita bersama-sama menjadi suara bagi mereka yang suaranya di bungkam, bertindak bagi mereka yang kebebasannya di rampas, dan berjuang bagi mereka yang hak-haknya dilanggar. Karena pada akhirnya, kemanusiaan kita sendirilah yang di pertaruhkan.