Di media sosial, sapaan itu kayak pintu. Bisa bikin orang betah ngobrol, atau malah pilih minggir dan skip.
Menariknya, orang yang belum pernah kita temui bisa bikin kita merasa akrab—cuma karena caranya menyapa. Padahal, hanya ketemu di layar.
Tapi makin ke sini aku jadi mikir… siapa sih yang paling jago menyapa?
Yang kata-katanya nggak cuma masuk telinga, tapi nyusup sampai ke dada?
Ternyata bukan influencer. Bukan juga penyair.
Tapi… Allah. Dan Rasul-Nya.
Bayangin, Allah itu Maha Segalanya. Tapi saat nyapa hamba-Nya yang sedang salah arah, Dia nggak bilang:
“Wahai pendosa!”
Atau, “Hai kau yang lalai!”
Enggak. Allah bilang:
“Yā ‘ibādī… Wahai hamba-hamba-Ku…”
Bukan sembarang hamba, tapi:
“…yang telah melampaui batas terhadap diri sendiri…”
Lalu langsung disambung:
“Jangan berputus asa dari rahmat-Ku.” (QS. Az-Zumar: 53)
Lembut sekali. Kita yang jauh, yang penuh cela, tetap disapa: “hamba-Ku.”
Bukan karena kita pantas. Tapi karena kasih-Nya lebih dulu datang, bahkan sebelum kita sempat mengetuk pintu.
Rasulullah juga begitu.
Seorang pemimpin agung, tapi cara menyapanya lembut dan penuh cinta.
Beliau pernah berkata pada Abu Bakar: “Seandainya aku boleh mengambil kekasih, pasti aku pilih Abu Bakar.”
Kepada Ali: “Engkau bagian dariku, dan aku bagian darimu.”
Pada Ja’far: “Akhlakku mirip dengan akhlakmu.”
Dan Zaid disapa: “Engkau saudara dan maula kami.”
Jadi, kenapa kita yang bukan siapa-siapa, kadang malah nyapanya galak? Kita menyapa kayak sudah jadi malaikat penjaga pintu neraka. Kayak kita suci, yg lain pendosa semua.
Sudahlah, kita ini sama-sama pendosa. Hanya beda jalur dosanya.
Tapi apa pun dosamu, jangan pernah keluar dari jalur kasih sayang Ilahi.
Satu sapaan yang benar-benar tulus bisa jadi jalan pulang buat orang yang udah lama nyasar.
Kadang orang nggak butuh diingatkan, dia udah tahu dia salah.
Dia cuma butuh disapa… dengan cinta.
Tabik,
Nadirsyah Hosen