Halo, namaku Hind Rami Iyad Rajab, umurku baru enam tahun. Ayahku bernama Iyad, dan ibuku bernama Wisam. Kami tinggal di Tel Al Hawa, di sebuah sudut kecil di kota Gaza.
Di suatu pagi, pada tanggal 29 Januari 2024. Tepatnya jam 6 pagi, semuanya terasa tenang, dan sinar matahari perlahan menyingkap tirai malam.
Ibuku sibuk di dapur, karena hari ini aku hendak pergi ke pantai bersama sepupu-sepupuku Layan, Sana, Raghad, Mohammed, dan Sarah, serta Paman Bashar dan Bibi Rami.
Pantai Mediterania adalah pantai yang akan kami kunjungi, dengan air biru jernih dan pasir putih halus, tempat aku bisa bermain kejarkejaran dengan ombak kecil.
Hahahaha… maaf saya bercanda, saya juga mau alur ceritanya begitu tapi kenyataannya tidak. Pagi itu bukan pagi untuk berlibur ke pantai. Pagi itu adalah pagi terakhir kami berkumpul bersama di rumah kecil kami.
Yang sebenarnya terjadi adalah Bibi Rami yang sibuk di dapur, bukan lagi Mama. Wajahnya pucat saat mengemas air minum dan roti kering. “Kita harus segera pergi, Hind!” katanya padaku. “Paman dapat peringatan evakuasi. Kota ini tak aman lagi.” Aku hanya mengangguk, berusaha tidak menangis.
Aku dan orang tuaku terpisah sejak tiga hari lalu saat serangan dahsyat memisahkan kami. Sekarang, aku harus ikut Paman Bashar dan Bibi Rami mengungsi ke selatan.
“Jangan takut, Sayang,” kata Paman Bashar sambil mengusap kepalaku. “Kita akan pergi ke tempat yang lebih aman bersama Bibi dan sepupu-sepupumu. Aku janji akan menjagamu.”
Mobil Kia Picanto hitam Paman Bashar itu harus menampung delapan orang: aku, Paman Bashar, Bibi
Rami, dan kelima sepupuku – Layan yang berusia 15 tahun, Sana 13 tahun, Raghad 12 tahun, Mohammed
11 tahun, dan Sarah yang baru 4 tahun. Kami berdesak-desakan di dalamnya. Aku duduk di pangkuan Bibi Rami, mencoba mencari posisi yang nyaman di tengah kepanikan.
Perjalanan terasa sangat lama dan melelahkan. Wajah semua sepupuku pucat dan penuh ketakutan. Layan, yang paling tua, berusaha menenangkan Sarah yang mulai rewel. “Sabar ya, Sarah. Nanti kita akan sampai,” kata Layan sambil memeluk adik kecilnya.
Sana dan Raghad saling berpegangan tangan, sementara Mohammed memandang keluar jendela dengan wajah serius.
Setelah berjam-jam dalam perjalanan yang melelahkan, kami akhirnya sampai di persimpangan dekat stasiun gas Faris. Paman Bashar menghentikan mobil sebentar, mencoba memastikan arah yang aman untuk dilanjutkan. Bau bensin bercampur dengan aroma ketakutan memenuhi mobil kami yang sesak.
Tiba-tiba, Layan menarik lengan bajuku dengan kuat. “Hind, lihat itu!” bisiknya gemetar, wajahnya pucat membiru. Aku mengikuti arah telunjuknya dan melihat sebuah tank besar berwarna hijau tua muncul dari balik puing bangunan.
Suara mesinnya menderu-deru, semakin keras mendekati mobil kami yang kecil.
“Bashar! Tank!” teriak Bibi Rami dengan suara panik. Wajah Paman Bashar langsung berubah pucat. Tangannya menggenggam setir dengan erat. “Tutup semua jendela! Merunduk!” perintahnya dengan suara bergetar.
Tapi semuanya sudah terlambat. Tank itu sudah berada begitu dekat, hingga aku bisa melihat detail lapisan bajanya yang tebal. Laras meriamnya yang besar dan menakutkan perlahan mengarah tepat ke mobil kecil kami. “Bibi, aku takut…” bisikku sambil memeluk erat tubuh Bibi Rami. Kurasakan seluruh tubuhnya gemetar. “Jangan takut, Sayang, Bibi di sini,” jawabnya, tapi suaranya tercekik.
Sarah mulai menangis histeris. Layan dengan tangan bergetar mengambil ponselnya. “Aku akan menelepon bantuan,” bisiknya sambil menekan-nekan ponselnya.
Wajahnya pucat tapi penuh tekad. Di kursi belakang, Sana dan Raghad saling berpelukan, sementara Mohammed memandangi tank itu dengan tatapan kosong.
Kemudian dimulailah mimpi buruk yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. DORRR! Suara tembakan pertama yang sangat keras memecah kesunyian. Kaca mobil berhamburan mengenai wajah dan tangan kami.
Aku berteriak sekuat tenaga sambil terus memeluk Bibi Rami. Sarah menjerit-jerit histeris. Bau mesiu menyengat memenuhi mobil.
Layan berteriak ke telepon, “Halo! Tolong! Kami terjebak! Ada tank Israel di samping mobil kami!” Suara operator PRCS terdengar mencoba menenangkan, “Tenang, nak. Ceritakan lokasi kalian.” Dengan suara terputus-putus, Layan menjawab, “Kami di persimpangan dekat stasiun gas Faris! Mobil Kia
Picanto hitam! Ada delapan orang di dalam! Tolong kirim ambulans!”
DORRR! Tembakan berikutnya menghantam mobil. Kaca spion hancur berantakan. “Mereka masih menembak!” teriak Layan ke telepon. “Tolong! Tank itu masih di sini! Mereka tidak berhenti!” Suara operator berusaha meyakinkan, “Tim ambulans sedang di jalan! Bertahanlah!”
Tank itu terus memuntahkan peluru. Suara tembakan semakin menjadi-jadi. “Layan! Layan!” teriak Paman Bashar ketika melihat darah mulai mengalir dari bahu sepupu kami. Layan masih memegang telepon dengan tangan berdarah, suaranya semakin lemah: “Tolong… tolong… mereka terus menembak…”
Tiba-tiba, rentetan tembakan yang lebih dahsyat mengguncang mobil kami. DORRR! DORRR! DORRR!
Enam puluh empat tembakan dalam enam detik. Suara yang memekakkan telinga. Aku melihat ponsel Layan terlepas dari genggamannya. Sambungan telepon terputus. Keheningan yang mencekam menyelimuti mobil. Tidak ada lagi tangisan Sarah. Tidak ada lagi suara apa pun.
Aku tidak tahu berapa lama aku tidak sadarkan diri. Saat mata ku terbuka kembali, semuanya sunyi.
Mobil hancur berantakan. Kaca-kaca pecah berserakan di mana-mana. Bau besi darah menusuk hidung.
“Bibi? Paman?” bisikku pelan. Kugoyang tubuh Bibi Rami, tapi dia diam saja. Kulihat Paman Bashar, Layan, dan semua sepupuku terbaring tak bergerak.”Halo? Kamu bisa dengar saya?” suara yang sama terdengar dari ponsel.
“Mereka semua sudah mati…” bisikku dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Semuanya mati…”
“Siapa ini? Siapa yang bicara?”
“Aku Hind, Hind Rajab”
“Hind, sayang, aku akan tetap bersama kamu. Jangan takut, ya…”
“Bawalah aku… ayolah,” bisikku pelan, suara kecilku nyaris tenggelam oleh gemuruh di kejauhan.
“Kami akan datang dan membawamu, sayang. Bertahanlah.”
“Aku sangat takut… ayolah…”
“Baik, sayang. Tentu saja, sayang. Aku akan datang menjemputmu,” ucap suara dari Bulan Sabit Merah, menahan sesak. “Sekarang paman-paman dari ambulans sedang berkoordinasi, agar kami bisa sampai ke tempatmu. Apakah ada aktivitas artileri di sekitarmu?”
“Iya… bawalah aku…”
“Sayang, demi Tuhan… aku ingin membawamu… tapi aku tak bisa melakukannya dengan tanganku sendiri sekarang.”
“Panggilkan seseorang… berjanjilah akan menjemputku…” aku memastikan.
“Baik, mari kita baca bersama dulu Bismillahirrahmanirrahim”
“Alhamdulillahirabbil ‘alamin”
Aku membacanya dengan bibir yang gemetar dan tangis yang tak tertahankan lagi entah apakah ini akhir bagiku? Apakah ini surah terakhir yang ku lantunkan?
“Bagus sekali” suara itu lirih menahan tangis. “Lihat dirimu… kau telah menghafal dengan sangat baik” mencoba menenangkanku.
Sementara itu, ambulans yang membawa dua paramedis Yusuf Zehro dan Ahmed al-Madhoum sudah sangat dekat dengan lokasi Hind. Hanya tersisa 50 meter.
Tapi Israel, yang memantau setiap koordinasi melalui sistem canggih mereka, mendeteksi pergerakan ambulans itu. Tanpa ampun, mereka mengarahkan moncong tank ke kendaraan penyelamat itu.
DRAAAAATTTTT!
Ambulans yang jelas-jelas bersimbol palang merah itu dihujani peluru. Kendaraan penyelamat itu hancur bersama kedua paramedis di dalamnya. Israel tak hanya membunuh para penyelamat, tapi juga memutus setiap harapan untuk Hind yang masih bertahan di antara jenazah keluarganya.
Suara drone mengaum, tepat di atas kepalaku. Denting rantai tank menggerus aspal, meraung, mendekat, seolah mengunyah langit Gaza.
Aku tak mampu menahan tangis. Tubuhku menggigil, bukan karena dingin, tapi karena rasa takut yang tidak bisa lagi kukendaliakan. Lihatlah tank disana apa salahku? bahkan disini hanya terdapat mayat yang membiru, tak ada satupun senjata karna kami memang bukan tentara.
Jika ini adalah akhir dari hidupku, maka aku ingin ini juga menjadi akhir dari pembantaian. Akhir dari jeritan yang tak pernah didengar. Akhir dari rasa takut yang tak sempat disampaikan. Akhir dari dunia yang pura-pura tuli terhadap tangisan anak-anak Gaza.
DRAAAAATTTTT!
Syahidlah malaikat kecil itu. Namanya Hind Rajab.
